Kamis, 04 Juni 2015

AKHLAK TASAWUF ( MACAM-MACAM TASAWUF )



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tiada yang pantas kita haturkan selain puja dan puji selain kehadirat Allah SWT, yang memberikan kita beribu-ribu nikmat yang salah satunya nikmat Iman dan Islam, dan semoga kita selalu mendapat limpahan nikmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam marilah kita haturkan kepad Nabi akhir zaman, Nabi penutup para nabi, Nabi Muhammad SAW, yang membawa umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman yang diridhoi Allah SWT dan kita harapkan syafa’atnya di hari kiamat nanti.
Ilmu tasawuf bisa di kelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis, yang tercakup dalam bagian ini ialah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma manjadi ilmu yang berdiri sendiri, termasuk di dalamnya ialah teori-teori tasawuf menurut bebagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis.
B.    Rumusan Masalah
1.       Pengertian akhlak Tasawuf ?
2.       Macam-macam tasawuf ?
C.    Tujuan penulisan
1.       Untuk mengetahui apa yang di maksud akhlak tasawuf itu.
2.       Untuk mengetahui macam-macam tasawuf.








Text Box: 1
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Akhlak Tasawuf
Kata akhlak berasal dari bahasa arab khuluq yang jamaknya akhlaq. Menurut bahasa akhlak adalah perangai,tabiat,dan agama.[1] Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia,kata akhlak diartikan sebagai budi perkerti,watak,tabiat.[2]
Secara sempit,pengertian akhlak dapat di artikan dengan:
a.   Kumpulan kaidah untuk menempuh jalan yang baik.
b.   Jalan yang sesuai untuk menuju akhlak.
c.   Pandangan akal tentang kebaikan dan keburukan.
Dari pengertian di atas dapat member gambaran bahwa tingkah laku merupakan bentuk kepribadian seseorang tanpa di buat-buat atau spontan. jika baik menurut pandangan akal dan agama tindakan spontan itu di namakan akhlak yang baik (al-akhlakul mahmudah) sebaliknya jika tindakan spontan itu buruk maka di sebut (al akhlakul madzmumah.
Pengertian tasawuf dapat di lihat dari beberapa macam pengertian: Pertama, tasawuf di konotasikan dengan ahlu suffah,yang berarti sekelompok orang pada masa rasulullah yang hidupnya di serambi masjid dan mengabdikan hidupnya hanya untuk allah SWT.  Kedua, tasawuf berasal dari kata shofa yang berarti orang-orang yang mensucikan dirinya di hadapan allah SWT. Ketiga, istilah tasawuf berasal dari kata shaf yang di nisbatkan kepada orang-orang yang ketika sholat selalu berada di barisan terdepan. Keempat,tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti bulu domba atau wol.
Secara istilah tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri dan berjuang memerangi hawa nafsu,mencari jalan kesucian dengsn makfrifat menuju jalan benar,saling mengingatkan antar manusia.
B.    Macam-macam Tasawuf
1.     Tasawuf Akhlaki
Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut bahasa merupakan bentuk frase atau dalam kaidah bahasa Arab dikenal dengan sebutan jumlah idhafah)(جُملَةُ الإِضَافَةFrase atau jumlah idhafah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus. Dua kata itu adalah “tasawuf” dan “akhlak”. Jika kata tasawuf dengan kata akhlak disatukan, dua kata ini akan menjadi sebuah frase, yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologis, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan yang menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaki ini bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia atau dalam bahasa sosialnya moralitas masyarakat.
Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik, di perlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Untuk itu dalam tasawuf akhlaki,sistem pembinaannya di susun sebagai berikut: Takhalli : mengosongkan diri dari perilaku buruk atau akhlak tercela. Tahalli : upaya mengisi atau menghiasi diri dengan perilaku dan akhlak yang terpuji. Tajalli : Usaha pemantapan dan pendalaman materi yang telah di lalui pada fase sebelumnya untuk mencapai kesucian jiwa.
Oleh karena itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia. Agar mudah menempatkan posisi tasawuf dalam kehidupan bermasyarakat atau bersosial, para pakar tasawuf membentuk spesifikasi kajian tasawuf pada ilmu tasawuf akhlaki, yang didasarkan pada sabda Nabi Saw.
“Sesungguhnya aku telah diutus (dengan tujuan) untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”[3]
Tasawuf akhlaki merupakan gabungan dari ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf. Akhlak erat kaitannya denga perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasi secara utuh, jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah Swt. dibuktikan dalam kehidupan sosial.
a.      Tokoh-tokoh dan ajaran-ajaran tasawuf akhlaki
1)       Hasan Al-Bashri
Hasan Al-Bashri, memiliki nama lengkap Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar adalah seorang zahid yang termasyur dikalangan tabi’in. Lahir di Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada tahun 10 H (728 M). Ia dikabarkan pernah bertemu dengan 70 orag sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.[4]
Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah lainnya secara umum. Tidak heran kalau ceramah-ceramahnya dihadiri oleh selurh segmen masyarakat. Disamping dikenal sebagai zahid, ia juga dikenal sebagai seorang wara’ dan berani memperjuangakan kebenaran. Diantara karya tulisannya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.
Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti berikut:[5]
a)     Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tenteram lebih baik daripada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b)     Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Akan tetapi, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
c)     Tafakur membawa kita pada kebaikkan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’-betapa pun banyaknya- tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’-betapa pun sedikitnya. Waspadalah tehadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.
d)     Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggal mati suaminya.
e)     Orang yang beriman akan senantiasa berdukacita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
f)      Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, di hari kiamat yang akan menagih janjinya.
g)     Banyak duka cita didunia memperteguh semangat amal shaleh.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf diatas, Muhammad Mustafa menyatakan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari atas rasa takut siksa Tuhan didalam neraka. Akan tetapi, setelah dikaji lebih mendalam ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaan yang menjadi dasar tasawufnya melainkan kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari tasawufnya. Sikap itu selalu seirama dengan sabda Nabi Saw. “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya laksana orang yang duduk dibawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.[6]
2)     Al-Muhasibi
Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (wafat 243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah Swt., melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasullullah Saw. Tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas –menurut Al-Muhasibi- seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah SWT. berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah Saw. dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.[7] Al-Muhasibi berbicara tentang makrifat, bahwasanya makrifat itu harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah.[8] Al-Muhasibi menjelaskan sebagai berikut:
a)       Taat.
b)      Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap makrifat selanjutnya.
c)       Pada tahap ketiga ini Allah Swt. menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan bahwa rahasia yang selama ini disimpan Allah Swt.
d)      Tahap keempat, apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi paling penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Menurutnya, kedua hal tersebut dapat dilakukan dengan sempurna hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Muhasibi mengatakan bahwa Al-Qur’an menjelaskan tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Ajaran-ajaran Al-Qur’an dibangun atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). Al-Qur’an jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.” (Q.S. Adz-Dzariyyat (51): 15-19).
3)      Al-Qusyairi
Beliau adalah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima hijriah. Nama lengkapnya Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin, lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan Naishabur. Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu ‘mengompromikan syariat denga hakikat’. Beliau wafat pada tahun 465 H.[9]
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa pengembalian arah tasawuf menurutnya harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang dalam hal ini adalah dengan mengikuti para sufi sunni pada abad ketiga dan keempat hijriah yang sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
4)     Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Lahir pada tahun 450 H/1058 M di kota Khurasan, Iran.
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi Muhammad Saw. ditambah dengan doktrin Ahlu Sunnah Wa Al-Jamaah. Dari paham tasawufnya, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ah-Shafa, dan lain sebagainya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat terlihat dari karya-karyanya, seperti Ihya’ Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, Ayuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat terlepas dari sesuatu selain dari Allah Swt.
Makrifat menurut Al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah Swt. dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.[10] Alat memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Dijelaskan bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Ringkasnya, makrifat menurutnya tidak seperti makrifat menurut orang awan ataupun menurut ulama atau mutakallim, tetapi makrifat suci yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyf Ilahi. Yaitu tanpa melalui perantara langsung dari Allah Swt.
As-Sa’adah (kebahagiaan) menurut Al-Ghazali sesuai dengan tabiat (watak), sedangkan tabiat sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya, nikmatnya mata terletak saat kita melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak saat mendengar suara yang merdu. Demikian seluruh tubuh, masing-masing memiliki kenikmatan tersendiri.[11]Kenikmatan qalbsebagai alat memperoleh makrifat, terletak saat kita melihat Allah Swt. hal inilah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena makrifat agung dan mulia.
Kenikmatan dan kebahagiaan dunia akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kenikmatan dan kelezatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Sebab, qalb tidak ikut mati, bahkan kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.[12]
2.     Tasawuf Irfani
Untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) seorang sufi harus melalui beberapa fase yang dikenal dengan maqom (tingkatan) dan hal (keadaan). Lingkup perjalanan menuju Allah ini dalam kalangan sufi sering disebut sebagai karangan irfani. Ciri-ciri tasawuf sunni antara lain :
1.   Melandaskan diri pada Al-quran dan As-Sunnah.
2.   Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan Syahahat.
3.   Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
4.   Kesinambungan antara hakikat dengan syari‟at.
5.   Lebih terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan-latihan) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Berikut tokoh-tokoh beserta ajaran dari tasawuf irfani.
a). Robi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkap dari Robi’ah adalah  Robi’ah Al-adawiyah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashariyah Al-Qarisyah. Ia lahir pada tahun 95H/713 M disuatu perkampungan dekat kota Basrah  dan wafat dikota itu juga pada tahun 185H. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Ia putri keempat, orangtuanya menamakannya rabi’ah. Kedua orangtuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Basrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku quraisyah dan al adawiyah , ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang memancar diatas kepala rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
b). Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al adawiyah
Rabi’ah Al adawiyah tercatat dalam perkembangan mistisme dalam islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al –adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat Rabi’ah menyatakan do’anya , “tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencintaimu oleh api neraka?” tiba- tiba terdengar suara, “kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepda kami.[13]
Hasan al-Basri: “Keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi .Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi.  Prinsip kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf dan raja‟. Dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering melalakukan perintahNya.

3.     Tasawuf Falsafi
Yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan antara visi intuitif dan visi resional. Terminology filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa di pandang sebagai filsafat, karena ajaran daan metodenya di dasarkan pada dasar dzauq, dan tidak pula bisa di kategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya,yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.  ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah Paham emanasi neo-Plotinus.
Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para shufi falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar, yang sering di kenal dengan syathahiyyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit difahami, yang seringkali mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar, dan menimbulkan tragedy. Tokoh-tokohnya ialah Abu Yazid al-busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan sebagainya.
Abu Yazid al-Busthami mempunyai teori al-Ittihad, yaitu suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang shufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi deengan kata-kata : “hai aku”. Dalam al-Ittihad identitas telah menjadi satu.
Salah satu Syathiyat yang di ungkapan al-Busthami ialah :
                  1.      “tiada tuhan selain aku, maka sembahlah aku”.
                  2.      “maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya keadaan-ku”.
                  3.      “tidak ada sesuatu dalam bajuku ini kecuali Allah”.
Tokoh lainnya ialah al-Hallaj dengan ajaran al-Hululnya, yaitu suatu faham yang mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu mengambil tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Menurut al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsur, yakni unsur Nasut (kemanusiaan), dan unsure Lahut (ketuhanan), karena itu persatuan antara tuhan dan manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk hulul.
Al-Hallaj juga mengungkapkan syathahiyat sebagaimana di ungkapkan al-Busthami, seperti : “aku adalah yang haq”. Karena ungkapannya yang di anggap menyimpang dari tauhid inilah, dan tuduhan bekomplot dengan syi’ah Qaramithah, maka dia di jebloskan ke dalam keputusan pengadilan fuqaha’ yang sepihak dan berkolusi dengan pemerintahan al-Muqtadir Billah. Dia di jatuhi hukuman mati.
Teori Hulul ini di kembangkan labih jauh oleh Ibn Arabi dengan teori Wahdatul Wujud. Dalam teori ini, Ibn Arabi merubah Nasut dalam hulul menjadi al-Khaliq dan Lahut menjadi al-Haq. Kedua unsure tersebut pasti ada pada setiap makhluk yang ada ini , sebagai aspek batin, Ibn Arabi mengungkapkan : “ maha suci dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan dia adalah essensinya sendiri”.
Paham yang di bawa oleh para shufi falsafi membawa pro dan kontra, karena perbedaan latar belakang sudut tinjauan dan pisau analisianya. Dalam dunia tasawuf di kenal istilah fana’ dan baqa’ sebagaimana telah di uraikan di depan. Ketika seseorang telah mencapai keadaan demikian, seorang shufi telah mencapai puncak tujuan yang di inginkannya, yakni ma’rifat dan hakikat, sehingga muncul kesadaran bahwa al-ma’rifah (pengetahuan), al-Arif (orang yang mengetahui), dan al-Ma’ruf (yang di ketahui/tuhan) adalah satu.
Orang yang telah mencapai ma’rifat, hatinya bersih, dia akan merenungi sifat-sifat tuhan, bukan pada essensi-Nya, karena dalam ma’rifat masih ada sia-sia kegandaan yang masih tertinggal. Sifat utama Tuhan adalah ketuhanan dan kesatuan ilahi merupakan prinsip ma’rifat yang pertama dan yang terakhir. Tuhan bagi shufi difahami sebagai Dzat yang esa yang mendasari seluruh peristiwa. Prinsip ini membawa konsekuensi yang ekstrim. Apabila tiada sesuatu yang mewujudkan selain Tuhan, maka seluruh alam pada dasarnya adalah satu dengan-Nya, apakah ia di pandang emanasi yang berkembang dari pada-Nya, tanpa mengganggu ke esaan-Nya, sebagaimana halnya bekas sinar matahari atau apakah ia berlaku seperti cermin dengan mana sifat-sifat Allah dipancarkan. Konsep inilah yang mendasari para shufi falsafi mempunyai pandangan tersebut di atas. Dengan analisis seperti ini, maka hasil yang diperoleh oleh para shufi falsafi sebagaimana telah di ungkapkan adalah sesuatu yang wajar saja, dan suatu konsekuensi logis. Namun apabila didekati dengan fiqih dan ilmu kalam, adalah jenis hal tersebut di anggap suatu yang menyimpang, karena antara khalik dan makhluk, antara ‘abid dan ma’bud tidak bisa di satukan.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara istilah tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri dan berjuang memerangi hawa nafsu,mencari jalan kesucian dengsn makfrifat menuju jalan benar,saling mengingatkan antar manusia. Dan macam-macam tasawuf  yaitu  tasawuf akhlaki. Secara etimologis, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan yang menjadi sasarannya. Tasawuf irfani : menghiasi diri dengan akhlak yang baik. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya,yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
B.    Saran

           Dengan kita mengetahi pengertian dan macam-macam tasawuf kita sebaiknya kita lebih mendekatkan diri kepada allah dan menjauhi segala sesuatu yang bersifat duniawi dan lebih mengutamakan akhirat agar kita selamat dari siksa neraka.












DAFTAR PUSTAKA

Rosihan Anwar, akhlak Tasawuf.CV.Pustaka Setia.2010.
Ibrahim Hilal, Al-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din wa Al-Falsafah, Kairo: Dar An-Nahdhah Al0’Arabiyyah. 1979.
Hamka, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1986.
Al-Ghazali, Kimiya As-Sa’adah, Beirut: Al-Maktabah Asy-Syi’biyah, t.t.
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, Madkhal Ila At-Tashawwuf Al-Islam, Terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, “Sufi dari Zaman ke Zaman,” Bandung: Pustaka, 1985.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.


[1] Rosihan Anwar,akhlak Tasawuf.CV.Pustaka Setia.2010…
[2] Rosihan Anwar,Akhlak Tasawuf.CV.Pustaka.Setia.2010…
[3] H.R. Imam Ahmad dan Baihaqi
[4]Hamka, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986, h 76.
[5]Hamka, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, ..., h 78.

[6]Hamka, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, ..., h 79.
[7]Ibrahim Hilal, Al-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din wa Al-Falsafah, Kairo: Dar An-Nahdhah Al0’Arabiyyah, 1979, h 56.
[8]Ibrahim Hilal, Al-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din wa Al-Falsafah, ..., h 58.
[9]Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, Madkhal Ila At-Tashawwuf Al-Islam, Terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, “Sufi dari Zaman ke Zaman,” Bandung: Pustaka, 1985, h 141.
[10]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h 78.
[11]Al-Ghazali, Kimiya As-Sa’adah, Beirut: Al-Maktabah Asy-Syi’biyah, t.t, h 132.
[12]Al-Ghazali, Kimiya As-Sa’adah, ..., h 130.
[13] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,Bandung:CV. Pustaka Setia 2010,253-255

Tidak ada komentar:

Posting Komentar