BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tiada yang pantas kita haturkan selain puja dan puji selain kehadirat Allah SWT, yang
memberikan kita beribu-ribu nikmat yang salah satunya nikmat Iman dan Islam,
dan semoga kita selalu mendapat limpahan nikmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta
salam marilah kita haturkan kepad Nabi akhir zaman, Nabi penutup para nabi, Nabi
Muhammad SAW, yang membawa umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman yang
diridhoi Allah SWT dan kita harapkan syafa’atnya di hari kiamat nanti.
Ilmu tasawuf bisa di kelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau
nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis, yang tercakup dalam bagian ini
ialah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma manjadi
ilmu yang berdiri sendiri, termasuk di dalamnya ialah teori-teori tasawuf
menurut bebagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan
sistematis dan filosofis.
B.
Rumusan Masalah
1. Pengertian akhlak Tasawuf ?
2. Macam-macam tasawuf ?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang di maksud akhlak tasawuf itu.
2. Untuk mengetahui macam-macam tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak Tasawuf
Kata akhlak
berasal dari bahasa arab khuluq yang jamaknya akhlaq. Menurut
bahasa akhlak adalah perangai,tabiat,dan agama.[1] Dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia,kata akhlak diartikan sebagai budi
perkerti,watak,tabiat.[2]
Secara sempit,pengertian akhlak dapat di
artikan dengan:
a.
Kumpulan kaidah untuk menempuh jalan yang baik.
b.
Jalan yang sesuai untuk menuju akhlak.
c.
Pandangan akal tentang kebaikan dan keburukan.
Dari pengertian di atas dapat member
gambaran bahwa tingkah laku merupakan bentuk kepribadian seseorang tanpa di
buat-buat atau spontan. jika baik menurut pandangan akal dan agama tindakan
spontan itu di namakan akhlak yang baik (al-akhlakul mahmudah) sebaliknya
jika tindakan spontan itu buruk maka di sebut (al akhlakul madzmumah.
Pengertian tasawuf dapat di lihat
dari beberapa macam pengertian: Pertama, tasawuf di konotasikan dengan ahlu
suffah,yang berarti sekelompok orang pada masa rasulullah yang hidupnya di
serambi masjid dan mengabdikan hidupnya hanya untuk allah SWT. Kedua, tasawuf berasal dari kata shofa
yang berarti orang-orang yang mensucikan dirinya di hadapan allah SWT. Ketiga,
istilah tasawuf berasal dari kata shaf yang di nisbatkan kepada orang-orang
yang ketika sholat selalu berada di barisan terdepan. Keempat,tasawuf
berasal dari kata shuf, yang berarti bulu domba atau wol.
Secara istilah tasawuf adalah ilmu
yang mempelajari usaha membersihkan diri dan berjuang memerangi hawa nafsu,mencari
jalan kesucian dengsn makfrifat menuju jalan benar,saling mengingatkan antar
manusia.
B.
Macam-macam
Tasawuf
1.
Tasawuf
Akhlaki
Tasawuf akhlaki
jika ditinjau dari sudut bahasa merupakan bentuk frase atau dalam kaidah bahasa
Arab dikenal dengan sebutan jumlah idhafah)(جُملَةُ الإِضَافَةFrase
atau jumlah idhafah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu
kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus. Dua kata itu
adalah “tasawuf” dan “akhlak”. Jika kata tasawuf dengan kata akhlak disatukan,
dua kata ini akan menjadi sebuah frase, yaitu tasawuf akhlaki. Secara
etimologis, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling
membersihkan yang menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaki ini bisa dipandang
sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia atau dalam bahasa
sosialnya moralitas masyarakat.
Para sufi
berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik, di
perlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Untuk itu dalam tasawuf
akhlaki,sistem pembinaannya di susun sebagai berikut: Takhalli :
mengosongkan diri dari perilaku buruk atau akhlak tercela. Tahalli :
upaya mengisi atau menghiasi diri dengan perilaku dan akhlak yang terpuji. Tajalli
: Usaha pemantapan dan pendalaman materi yang telah di lalui pada fase
sebelumnya untuk mencapai kesucian jiwa.
Oleh karena
itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk
menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus
terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia. Agar mudah menempatkan
posisi tasawuf dalam kehidupan bermasyarakat atau bersosial, para pakar tasawuf
membentuk spesifikasi kajian tasawuf pada ilmu tasawuf akhlaki, yang didasarkan
pada sabda Nabi Saw.
“Sesungguhnya
aku telah diutus (dengan tujuan) untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”[3]
Tasawuf akhlaki
merupakan gabungan dari ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf. Akhlak erat kaitannya
denga perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan
tempat tinggalnya. Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasi secara utuh, jika
pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah Swt. dibuktikan dalam kehidupan
sosial.
a.
Tokoh-tokoh
dan ajaran-ajaran tasawuf akhlaki
1)
Hasan
Al-Bashri
Hasan
Al-Bashri, memiliki nama lengkap Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar adalah seorang
zahid yang termasyur dikalangan tabi’in. Lahir di Madinah pada tahun 21 H (632
M) dan wafat pada tahun 10 H (728 M). Ia dikabarkan pernah bertemu dengan 70
orag sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.[4]
Hasan Al-Bashri
terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam
di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah lainnya secara umum. Tidak heran
kalau ceramah-ceramahnya dihadiri oleh selurh segmen masyarakat. Disamping
dikenal sebagai zahid, ia juga dikenal sebagai seorang wara’ dan berani
memperjuangakan kebenaran. Diantara karya tulisannya berisi kecaman terhadap
aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.
Hamka
mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti berikut:[5]
a)
Perasaan
takut yang menyebabkan hatimu tenteram lebih baik daripada rasa tentram yang
menimbulkan perasaan takut.
b)
Dunia
adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci
dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Akan tetapi,
barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan
dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat
ditanggungnya.
c)
Tafakur
membawa kita pada kebaikkan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas
perbuatan jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang
fana’-betapa pun banyaknya- tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’-betapa pun
sedikitnya. Waspadalah tehadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh
tipuan.
d)
Dunia
ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggal
mati suaminya.
e)
Orang
yang beriman akan senantiasa berdukacita pada pagi dan sore hari karena berada
diantara dua perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan
takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
f)
Hendaklah
setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, di hari kiamat
yang akan menagih janjinya.
g)
Banyak
duka cita didunia memperteguh semangat amal shaleh.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf diatas, Muhammad Mustafa menyatakan
bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari atas rasa takut siksa Tuhan didalam
neraka. Akan tetapi, setelah dikaji lebih mendalam ternyata bukan perasaan
takut terhadap siksaan yang menjadi dasar tasawufnya melainkan kebesaran
jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari tasawufnya. Sikap
itu selalu seirama dengan sabda Nabi Saw. “Orang beriman yang selalu
mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya laksana orang yang duduk dibawah
sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa
dirinya.”[6]
2)
Al-Muhasibi
Al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi (wafat 243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari
keraguan yang dihadapinya. Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya
dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah Swt., melaksanakan
kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasullullah Saw. Tatkala sudah
melaksanakan hal-hal diatas –menurut Al-Muhasibi- seseorang akan diberi
petunjuk oleh Allah SWT. berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan
meneladani Rasulullah Saw. dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.[7] Al-Muhasibi
berbicara tentang makrifat, bahwasanya makrifat itu harus ditempuh melalui
jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah.[8]
Al-Muhasibi menjelaskan sebagai berikut:
a)
Taat.
b)
Aktivitas
anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan
tahap makrifat selanjutnya.
c)
Pada
tahap ketiga ini Allah Swt. menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan
keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan
menyaksikan bahwa rahasia yang selama ini disimpan Allah Swt.
d)
Tahap
keempat, apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan
baqa’.
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’
(pengharapan) menempati posisi paling penting dalam perjalanan seseorang
membersihkan jiwa. Menurutnya, kedua hal tersebut dapat dilakukan dengan
sempurna hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Muhasibi
mengatakan bahwa Al-Qur’an menjelaskan tentang pembalasan (pahala) dan siksaan.
Ajaran-ajaran Al-Qur’an dibangun atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib
(ancaman). Al-Qur’an jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada
dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala
pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah
orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu
malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.” (Q.S.
Adz-Dzariyyat (51): 15-19).
3)
Al-Qusyairi
Beliau adalah
seorang tokoh sufi utama dari abad kelima hijriah. Nama lengkapnya Al-Qusyairi
adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin, lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan
Naishabur. Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu ‘mengompromikan syariat denga
hakikat’. Beliau wafat pada tahun 465 H.[9]
Al-Qusyairi
menjelaskan bahwa pengembalian arah tasawuf menurutnya harus dengan merujuknya
pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang dalam hal ini adalah dengan
mengikuti para sufi sunni pada abad ketiga dan keempat hijriah yang sebagaimana
diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
4)
Al-Ghazali
Nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi
Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Lahir pada tahun 450 H/1058 M di kota Khurasan, Iran.
Dalam
tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah Nabi Muhammad Saw. ditambah dengan doktrin Ahlu Sunnah Wa Al-Jamaah.
Dari paham tasawufnya, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang
memengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, Ikhwan
Ah-Shafa, dan lain sebagainya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan
Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa
tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah
psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat terlihat dari
karya-karyanya, seperti Ihya’ Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal,
Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, Ayuhal Walad.
Menurut
Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan
hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela,
sehingga kalbu dapat terlepas dari sesuatu selain dari Allah Swt.
Makrifat
menurut Al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah Swt. dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.[10]
Alat memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan roh.
Dijelaskan bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Ringkasnya,
makrifat menurutnya tidak seperti makrifat menurut orang awan ataupun menurut
ulama atau mutakallim, tetapi makrifat suci yang dibangun atas dasar dzauq
rohani dan kasyf Ilahi. Yaitu tanpa melalui perantara langsung dari
Allah Swt.
As-Sa’adah (kebahagiaan)
menurut Al-Ghazali sesuai dengan tabiat (watak), sedangkan tabiat sesuatu itu
sesuai dengan ciptaannya, nikmatnya mata terletak saat kita melihat gambar yang
bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak saat mendengar suara yang merdu.
Demikian seluruh tubuh, masing-masing memiliki kenikmatan tersendiri.[11]Kenikmatan
qalbsebagai alat memperoleh makrifat, terletak saat kita melihat Allah
Swt. hal inilah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena
makrifat agung dan mulia.
Kenikmatan dan
kebahagiaan dunia akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kenikmatan dan
kelezatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang
walaupun manusia sudah mati. Sebab, qalb tidak ikut mati, bahkan
kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya
terang.[12]
2.
Tasawuf
Irfani
Untuk
menemukan pengenalan (ma’rifat) seorang sufi harus melalui beberapa fase yang
dikenal dengan maqom (tingkatan) dan hal (keadaan). Lingkup perjalanan menuju
Allah ini dalam kalangan sufi sering disebut sebagai karangan irfani. Ciri-ciri
tasawuf sunni antara lain :
1.
Melandaskan
diri pada Al-quran dan As-Sunnah.
2.
Tidak
menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada
ungkapan-ungkapan Syahahat.
3.
Lebih
bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
4.
Kesinambungan
antara hakikat dengan syari‟at.
5.
Lebih
terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan
cara riyadhah (latihan-latihan) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Berikut
tokoh-tokoh beserta ajaran dari tasawuf irfani.
a). Robi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkap dari Robi’ah
adalah Robi’ah Al-adawiyah bin Ismail
Al-Adawiyah Al-Bashariyah Al-Qarisyah. Ia lahir pada tahun 95H/713 M disuatu
perkampungan dekat kota Basrah dan wafat
dikota itu juga pada tahun 185H. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari
keluarga yang sangat miskin. Ia putri keempat, orangtuanya menamakannya
rabi’ah. Kedua orangtuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat
terjadinya bencana perang di Basrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada
keluarga atik dari suku quraisyah dan al adawiyah , ia bekerja keras, tetapi
akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang memancar diatas kepala
rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
b). Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al
adawiyah
Rabi’ah Al adawiyah tercatat dalam
perkembangan mistisme dalam islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan
cinta kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian
rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah
SWT. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al –adawiyah tentang cinta dipahami dari
kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi
meriwayatkan bahwa ketika bermunajat Rabi’ah menyatakan do’anya , “tuhanku,
akankah Kau bakar kalbu yang mencintaimu oleh api neraka?” tiba- tiba terdengar
suara, “kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepda
kami.[13]
Hasan al-Basri: “Keprihatinannya
melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi
.Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi
sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi. Prinsip kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf
dan raja‟. Dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat
dosa dan sering melalakukan perintahNya.
3.
Tasawuf Falsafi
Yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan antara visi intuitif dan visi
resional. Terminology filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam
ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya
sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak
bisa di pandang sebagai filsafat, karena ajaran daan metodenya di dasarkan pada
dasar dzauq, dan tidak pula bisa di kategorikan pada tasawuf (yang murni)
karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis
dan visi rasional.Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya,yang
berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para
tokohnya.
Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang
kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf
adalah Paham emanasi neo-Plotinus.
Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para shufi falsafi sering
menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar, yang sering di kenal dengan
syathahiyyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit difahami, yang seringkali
mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar, dan menimbulkan tragedy.
Tokoh-tokohnya ialah Abu Yazid al-busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan
sebagainya.
Abu Yazid al-Busthami mempunyai teori al-Ittihad,
yaitu suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang shufi telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai
telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu
lagi deengan kata-kata : “hai aku”. Dalam al-Ittihad identitas telah
menjadi satu.
Salah satu Syathiyat
yang di ungkapan al-Busthami ialah :
1.
“tiada tuhan selain aku, maka sembahlah aku”.
2.
“maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya keadaan-ku”.
3.
“tidak ada sesuatu dalam bajuku ini kecuali Allah”.
Tokoh lainnya ialah al-Hallaj dengan ajaran al-Hululnya,
yaitu suatu faham yang mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu mengambil tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan
yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Menurut al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsur, yakni unsur Nasut
(kemanusiaan), dan unsure Lahut (ketuhanan), karena itu persatuan antara tuhan
dan manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk hulul.
Al-Hallaj juga mengungkapkan syathahiyat sebagaimana di ungkapkan
al-Busthami, seperti : “aku adalah yang haq”. Karena ungkapannya yang di
anggap menyimpang dari tauhid inilah, dan tuduhan bekomplot dengan syi’ah
Qaramithah, maka dia di jebloskan ke dalam keputusan pengadilan fuqaha’ yang
sepihak dan berkolusi dengan pemerintahan al-Muqtadir Billah. Dia di jatuhi
hukuman mati.
Teori Hulul ini di kembangkan labih jauh oleh Ibn Arabi dengan teori
Wahdatul Wujud. Dalam teori ini, Ibn Arabi merubah Nasut dalam hulul
menjadi al-Khaliq dan Lahut menjadi al-Haq. Kedua unsure tersebut pasti ada
pada setiap makhluk yang ada ini , sebagai aspek batin, Ibn Arabi mengungkapkan
: “ maha suci dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan dia adalah essensinya
sendiri”.
Paham yang di bawa oleh para shufi falsafi membawa pro dan kontra, karena
perbedaan latar belakang sudut tinjauan dan pisau analisianya. Dalam dunia
tasawuf di kenal istilah fana’ dan baqa’ sebagaimana telah di uraikan di depan.
Ketika seseorang telah mencapai keadaan demikian, seorang shufi telah mencapai
puncak tujuan yang di inginkannya, yakni ma’rifat dan hakikat, sehingga muncul
kesadaran bahwa al-ma’rifah (pengetahuan), al-Arif (orang yang mengetahui), dan
al-Ma’ruf (yang di ketahui/tuhan) adalah satu.
Orang yang telah mencapai ma’rifat, hatinya bersih, dia akan merenungi
sifat-sifat tuhan, bukan pada essensi-Nya, karena dalam ma’rifat masih ada
sia-sia kegandaan yang masih tertinggal. Sifat utama Tuhan adalah ketuhanan dan
kesatuan ilahi merupakan prinsip ma’rifat yang pertama dan yang terakhir. Tuhan
bagi shufi difahami sebagai Dzat yang esa yang mendasari seluruh peristiwa.
Prinsip ini membawa konsekuensi yang ekstrim. Apabila tiada sesuatu yang
mewujudkan selain Tuhan, maka seluruh alam pada dasarnya adalah satu
dengan-Nya, apakah ia di pandang emanasi yang berkembang dari pada-Nya, tanpa
mengganggu ke esaan-Nya, sebagaimana halnya bekas sinar matahari atau apakah ia
berlaku seperti cermin dengan mana sifat-sifat Allah dipancarkan. Konsep inilah
yang mendasari para shufi falsafi mempunyai pandangan tersebut di atas. Dengan
analisis seperti ini, maka hasil yang diperoleh oleh para shufi falsafi
sebagaimana telah di ungkapkan adalah sesuatu yang wajar saja, dan suatu
konsekuensi logis. Namun apabila didekati dengan fiqih dan ilmu kalam, adalah
jenis hal tersebut di anggap suatu yang menyimpang, karena antara khalik dan
makhluk, antara ‘abid dan ma’bud tidak bisa di satukan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara istilah tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha
membersihkan diri dan berjuang memerangi hawa nafsu,mencari jalan kesucian
dengsn makfrifat menuju jalan benar,saling mengingatkan antar manusia. Dan
macam-macam tasawuf yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologis,
tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan
yang menjadi sasarannya. Tasawuf irfani : menghiasi diri dengan akhlak
yang baik. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya,yang berasal dari
berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
B.
Saran
Dengan kita mengetahi pengertian dan
macam-macam tasawuf kita sebaiknya kita lebih mendekatkan diri kepada allah dan
menjauhi segala sesuatu yang bersifat duniawi dan lebih mengutamakan akhirat
agar kita selamat dari siksa neraka.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihan Anwar, akhlak Tasawuf.CV.Pustaka Setia.2010.
Ibrahim
Hilal, Al-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din wa Al-Falsafah, Kairo: Dar
An-Nahdhah Al0’Arabiyyah. 1979.
Hamka,
Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1986.
Al-Ghazali,
Kimiya As-Sa’adah, Beirut: Al-Maktabah Asy-Syi’biyah, t.t.
Abu
Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, Madkhal Ila At-Tashawwuf Al-Islam, Terj.
Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, “Sufi dari Zaman ke Zaman,” Bandung: Pustaka, 1985.
Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1978.
[3] H.R. Imam
Ahmad dan Baihaqi
[4]Hamka, Tasauf:
Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986, h 76.
[5]Hamka, Tasauf:
Perkembangan dan Pemurniannya, ..., h 78.
[6]Hamka, Tasauf:
Perkembangan dan Pemurniannya, ..., h 79.
[7]Ibrahim Hilal, Al-Tashawwuf
Al-Islami bain Ad-Din wa Al-Falsafah, Kairo: Dar An-Nahdhah Al0’Arabiyyah,
1979, h 56.
[8]Ibrahim Hilal, Al-Tashawwuf
Al-Islami bain Ad-Din wa Al-Falsafah, ..., h 58.
[9]Abu Al-Wafa’
Al-Ghanimi At-Taftazani, Madkhal Ila At-Tashawwuf Al-Islam, Terj. Ahmad
Rofi’ ‘Utsmani, “Sufi dari Zaman ke Zaman,” Bandung: Pustaka, 1985, h 141.
[10]Harun Nasution,
Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h 78.
[11]Al-Ghazali, Kimiya
As-Sa’adah, Beirut: Al-Maktabah Asy-Syi’biyah, t.t, h 132.
[12]Al-Ghazali, Kimiya
As-Sa’adah, ..., h 130.
[13] Rosihon Anwar,
Akhlak Tasawuf,Bandung:CV. Pustaka Setia 2010,253-255
Tidak ada komentar:
Posting Komentar